7 Harga Menjadi Pengusaha Sukses

Apa Saja harga dan resiko untuk menjadi pengusaha?. berapa di antaranya adalah :

1 . Hidup Hemat

Jangan kira mulai jadi pengusaha, segera bergelimang harta. Di lapangan yang sering terjadi adalah kebalikannya. Dan Situasi yang terbalik inilah yang membuat orang-orang mengejar kekayaan, menjadi stres berat. Ketika memulai usaha, beresiko menjadi sangat miskin harta. Setiap sen uang yang dimiliki menjadi founder, pendiri usaha yang sukses awalnya hidup dengan sangat hemat. Mereka menggunakan setiap sen uangnya untuk diputarkan ke dalam usaha.

2 . Waktu Senggang

Kenapa bisa ?. bukankah banyak orang yang membayangkan bahwa ketika menjadi pengusaha, otomatis mereka akan memiliki kebebasan dan banyak waktu, untuk anak dan keluarga mereka ?. Memang betul , banyak orang yang sering berpikir begitu, namun sayang sekali, kenyataan ini juga sering terbalik. Untuk selamat dari jebakan kebangkrutan di awal-awal menjadi pengusaha start-up, seorang pengusaha harus bekerja keras tanpa mengenal waktu.

3 . Menunda Kesenangan

Ketika usaha bertambah maju, ada saat-saat tertentu perusahaan kelebihan uang tunai. Pada saat itu tiba, akan ‘merasa’ memiliki banyak uang. Padahal itu bukan uang pribadi, tapi itu adalah uang perusahaan. Itulah saat-saat yang paling berbahaya bagi pengusaha start-up. Mereka sering tergelincir

4 . Stres

Stres?? bukankah jadi pengusaha sukses itu bebas stres?. Menariknya adalah, dunia usaha adalah dunia tentang menyelesaikan masalah. Seorang pemilik perusahaan, adalah orang nomor satu di perusahaan. Ibaratkan raja kecil di kerajaan usaha yang di bangun dari awal. Sayangnya, dengan demikian pengusaha menjadi muara dari segala keruwetan dan masalah di perusahaan. Semua pekerjaan yang sulit, dan kotor akan berujung kepada pengusaha.

Mulai dari kurangnya penjualan profit, mengurus cashflow yang kadang mandek, membina hubungan dengan supplier, melayani konsumen yang rewel, sampai ke masalah tenggat jatuh tempo utang perusahaan. Masalah dan stres akut adalah bagian dari harga untuk menjadi pengusaha. Kemampuan menyelesaikan masalah adalah inti dari kesuksesan sebuah perusahaan.

5 . Hubungan dengan Keluarga

Pada masa berdirinya perusahaan, pengusaha start-up tidak punya banyak waktu dan uang. Apalagi pengusaha start-up yang sebelumnya karyawan sebuah perusahaan yang terbiasa dengan stabilitas. Lingkungan usaha yang selalu berubah-ubah, akan menghasilkan tingkat stres yang sangat tinggi. Pengusaha jadi gampang terpicu emosinya dan menjadi mudah marah. Apalagi kalau pengusaha start-up itu membawa urusan pekerjaan, yang disertai stres dan juga amarah ke rumah. Bayangkan apa jadinya hubungan si pengusaha dengan anggota keluarganya itu? Dengan anak dan istrinya, atau kalau pengusaha itu perempuan dengan suaminya?

6 . Kehilangan Teman – Teman

Memang dalam usaha, kita harus punya banyak teman. Tetapi itu adalah teman usaha. Bukan teman-teman yang biasanya bergaul sehari-hari. Ketika konteksnya berubah keteman bergaul sehari-hari, mereka pasti akan melihat adanya perubahan dalam diri pengusaha. Akan tiba suatu masa ketika teman-teman melihat dan merasakan tidak ‘asyik’ seperti dulu, bahkan menilai ‘Sombong’ jarang mau bergaul, bermain dan berkumpul-kumpul lagi dengan mereka.

Itu semua karena ada dua alasan besar di balik perubahan sikap :

  1. Pertama, Sebagai pengusaha, sibuk. Banyak kerjaan yang harus dikerjakan
  2. Kedua, harus irit, butuh dari setiap sen uang untuk kepentingan yang lebih besar.

7 . Hilangnya Percaya Diri

Akan datang suatu masa, ketika pengusaha start-up di hampiri oleh masalah yang datang bertubi-tubi. Kejadian ini membuat pengusaha start-up ‘seolah-olah’ kehilangan rasa percaya diri. Merasakan kesendirian, merasakan ingin menyerah. Merasa bahwa dunianya sudah berakhir.

Kebanyakan pengusaha start-up gagal. Tidak tahu bahwa kesulitan bukanlah awal dari kegagalan, tidak tahu bahwa kesulitan itu adalah bagian dari kesuksesan. Terlalu cepat menyerah, karena mentalnya sendiri masih belum siap.

 

Rusly, Johny, Jadi.. Anda Ingin Menjadi Pengusaha?, Jakarta: PT Gramedia, 2012.

Tinggalkan komentar